Tour de Samas


Wim Permana

Masyaallah, sudah 3 hari aku tidak mengisi diariku. Tapi tidak apa-apa, beberapa catatanku sudah aku post ke blog. Tapi tidak begitu-begitu saja. Ada beberapa hal yang memang harus aku catat. Misalnya, pada hari sabtu tanggal 1 maret 2008 kemarin, alhamdulillah aku berhasil menyambangi sebuah pantai di Jogja yang cukup terkenal, meskipun tidak seheboh Parangtritis. Pantai Samas. Itu namanya. Letaknya sangat jauh kalau ditempuh dari Krapyak. Jangankan naik sepeda, naik mobil saja banyak orang bilang Samas itu jauh kok (24 km dari jogja). Tapi ya sudahlah, apa boleh buat. Kalau niat sudah di dalam jasad, mana bisa hati berontak menghangat.

Singkat kata. Singkat cerita. Pagi jam 6 aku sudah bergegas menuju ke sana. Cuacanya tidak bagus-bagus amat menurutku. Bukan main. Allah ternyata menurunkan hujan rintik-rintik kala itu. Awan berwarna kelabu, artinya aku pun tidak tahu. Kelabu adalah warna, semangatku adalah baja. Tidak terpengaruh aku karenanya.

Dan memang. Allah maha penyayang. Hujan hanya terjadi sesaat saja. Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 sampai 2 km, akhirnya aku menemui suasana yang sangat nyaman untuk bersepeda. Awan yang lembut abu-abu dan biru. Angin sepoi-sepoi nan lembut menyapu. Tidak lupa, mentari yang masih malu untuk mengaku; bahwa dia bukanlah sang putri malu.

Jauh aku menuju jalan, jauh mataku menahan. Jauh hasratku tertanam. Samas masih jauh. Tapi di mataku Samas semakin dekat. Seiring kayuhan yang semakin mengencang. Beban hidup terasa hilang. Jangankan beban. Kalau pun ada utang mungkin saat itu aku pasti belajar untuk melupakan.

Sepanjang jalan aku lihat sawah. Hijau warna mereka. Hutan mini diselingi burung dan petani. Aduh indah sedap di hati. Ibu-ibu petani menari dengan membungkuk. Bawa arit tinggalkan gubuk. Anak dan bapak mengikut. Saksikan padi mulai tinggi merunut. Oh tuhanku. Nikmatnya hatiku kini. Puluhan kilometer serasa hambar tak terperi. Rajut di kain boleh dibuka. Senyum di mata tak mungkin terlupa.

Hari ini aku tersenyum. Bukan dengan bibir duhai Permana. Dengan matamu itu engkau terkesima. Melihat pemandangan sungguh mempesona. Elok nian sang pencipta. Mereka miskin tapi tetap bahagia. Beriringan dengan sepeda-sepedanya, Wim Permana iri sejadi-jadinya.

Wow, mentari mulai menghangat. Anak-anak SMA juga terlihat semangat. Pakaian mereka yang putih, abu-abu juga coklat. Ingatkan aku tentang sebuah hikayat. Bukan raja bukan pangeran tapi diri sendiri yang pernah alami kisah demikian cuma sesaat.

Aku sudah lupa mungkin dengan dia. Dia yang kucinta, yang ada di hati. Masihkah dia mengingat. Seorang pemuda hendak membangun mimpi. Teringatkah dia tentang …..

Ah pemuda bangkitlah. Tak baik melamun di atas sepeda. Apakah engkau tidak malu pada bukit di samping kanan dan kiri. Berpisah mereka oleh sawah dan jalan raya. Tak mungkin beradu tangan memaksa. Sudahlah, kalau datang saat itu juga. Isi hatimu kan datang dengan sendirinya. Sambil tersenyum atau sambil merundukkan kepala. Itu bukan masalah. Siapkah kamu wahai pemuda. Itu dia.

Angin kencang mulai menyerbu. Tapi kalah dengan deras arus motor-motor itu. Di kota atau di pelosok desa. Honda dan Yamaha tidak mau mengalah juga. Hei, bertoleransilah dengan para pengendara sepeda.

Aih, aih aku sampai di pasar ini. Penduduknya banyak hilir ke sana kemari. Ada yang pegang ayam ada yang bernyanyi. Sayang masih ada yang menatap tanpa pandangan. Kerja apa engkau nak abang mau bertransaksi. Anak kecil tidak bekerja. Anak muda tambah parah. Mereka malah tambah-tambah masalah.

Bagaimana dengan Samasnya pemuda. Sudahkah engkau sampai di sana.

Sebentar aku bertanya, pada ibu yang juga bersepeda.

“Wahai ibu, bolehkah aku bertanya? Di manakah pantai Samas itu adanya?”

“Wahai anak muda luruslah engkau ke sana. Jangan belok sebelum engkau melihat laut yang biru membahana.”

“Kalau aku ingin belok apa akibatnya wahai ibu yang bersahaja.”

“Maka engkau akan dipertemukan dengan Si Pandan Simo anakku.”

“Tuan putrikah dia?”

“Itu pantai … duhai yang sudah pantas menikah”

“Baiklah ibu, terima kasih untuk beritamu. Perkenankan ananda melanjutkan perjalanan. Tidak baik mimpi di tinggal di jalan.”

“Sebelumnya, bolehkah ibu tahu anak muda asalnya dari mana?”

“Saya ini asli Klaten ibu, tapi saya sudah terlalu lama tinggal di sebuah kota; Palembang orang-orang menyebutnya. Mungkin karena ini, ananda tidak bisa bercakap-cakap dalam bahasa jawa. Sudilah ibu memaafkan saya.”

“Tak perlu meminta maaf. Selamat jalan anak muda. Lanjutkanlah mimpi yang sudah di depan mata.”

“Terima kasih ibu. Sungguh hanya Allah yang akan membalasnya.”

********************************

Subhanallah akhirnya inilah Samas yang kudengar hanya lewat cerita. Pantainya bertelaga. Kuning di tepi, tapi biru di tengah-tengahnya. Allahu akbar. Sungguh aku terkesima. Banyak sekali sampah dari sana. Tentu jangan salahkan ikan-ikan kalau seperti ini kesudahannya. Mana mungkin ikan makan buruan yang dikemas dengan plastik penuh warna. Dasar manusia. Memang ada yang tidak berguna di antaranya.

Aku senang sekali dengan pemandangan ini. Angin. Laut. Telaga. Nelayan. Perahu. Kepiting. Pasir. Rumah kerang, jaring, tiram dan sebagainya. Dan, oh tidak. Tapi tidak dengan makhluk-makhluk seperti mereka (an**ng). Mungkin aku terlalu pengecut atau apalah. Namun memang dari sananya. Sudah demikian aku adanya. Tolonglah engkau jangan marah. Toh mereka tidak menggangguku waktu itu juga.

Lalu itu. Wow, di salah satu tepian pantai ini. Kujumpai seorang ibu. Ia sedang menggendong anaknya. Juga sibuk aku tak tahu entahlah. Aku hampiri dan langsung kutanya.

“Wahai ibu, ibu sedang mencari apa?”

“Plastik wahai anak muda.” demikian jawabnya.

“Oh, untuk dijualkah wahai ibu?”

“Iya.” kulihat semangat di matanya.

“Oh sungguh …..” dalam hatiku termangu-mangu.

Aku tinggalkan ibu itu.

Aku lelah berjalan. Ini sudah terlalu jauh menurutku. Tapi indah. Subhanallah benar-benar indah. Alangkah sayangnya tinggal di Jogja tapi tidak pernah sekali pun ke sini. Apalagi kalau asli Jogja. Duh, …

*************************************************

Lama aku tatapi laut di depan. Aku agak sedih juga kalau sekarang harus pulang. Tapi apa boleh buat. ScholarsCamp sudah menunggu. Sebaiknya aku melakukan sesuatu demi startupku ini. Insyaallah kalau ada waktu, tidak menyesal aku berkunjung lagi. Ngomong-ngomong CTO-nya mau tidak ya ikutan touring bareng?

Penulis: Wim Permana

CPNS Pemkab Gorontalo, Entrepreneur, Blogger, Writer, Blade Rider

2 tanggapan untuk “Tour de Samas”

  1. Halo Pak Dhani, sepertinya bapak Biker juga ya, ngomong-ngomong yang dimaksud batu itu batu yang mana?

    Kayaknya samas itu terkenalnya dengan delta-delta atau telaganya, bukan batunya. btw, kondisi samas sepertinya masih biasa-biasa saja. sepi, banyak sampah plastik, tepi tetap, masih ada ruh yang bisa dirasakan setiap kali memandang laut yang ada di sana.

    Antara parangkesumo dengan samas itu jauh pak, meskipun bisa ditelusuri dari pesisir tepi pantai yang sama. Kalau parangtritis dengan parangkesumo bau dekat pak.

Tinggalkan Balasan ke wimkhan Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.