Pengangguran Jakarta yang kangen Yogyakarta


macet

(satu keheningan Jakarta)

Nganggur di Jakarta
Hidup tapi mati
Hidup tak berkarya

Gerak tapi kosong
Gerak tanpa makna

Gelisah, Gundah
Tak sudah-sudah

sungai progo

(Progo yang tersenyum padamu)

Aku jadi kangen jogja
Aku kangen

Kangen sama Permadani

Ku ingin jalan ke sana ke mari
Ke Sungai Progo kutuju Trisik

Susuri tanah merah
Pegangi pohon-pohom pisang, kelapa, atau apalah

Memandang penambang pasir
Ngobrol sama pak tani
Duduk-duduk di sawahnya

Lama ……..

image 1 | image 2

Penulis: Wim Permana

CPNS Pemkab Gorontalo, Entrepreneur, Blogger, Writer, Blade Rider

9 tanggapan untuk “Pengangguran Jakarta yang kangen Yogyakarta”

    1. gubraks … amin … amin … itu pasti iyan. makasih yan. tapi mimpiku bukan di pasir. hehehe .. aku masih optimis kok. walau kadang tampak seperti tidak ada harapan.

      allah masih ingin aku bersabar dan terus berusaha. saya pikir semua manusia pasti akan dicoba. iya nggak?

      😛

    1. Wow, sebenarnya pingin banget you, cuma untuk sementara aku masih ingin di Jogja dan Jakarta. Tapi kalau emang dapetnya di Palembang ya aku bakal ke sana. Lagian ortuku dan adik2ku kan tinggalnya di sana.

      Btw kamu sudah lulus belum kuliahnya. Kapan jadi dokter? aku mau nanya banyak nih …. gratis ya.

  1. Manusia yang Rindu

    Hati ini rindu, rindu pada kedamaian, pada indahnya rasa, seperti cubitan angin sepoi-sepoi kala sepi.sendiri.

    Dubrak….!!!!

    Aku benci terus berlari mengejar yang tak pasti.
    Takut mati konyol dan masih berhutang daana kepada Pencipta.
    Aduh, Rabby…tolonglah hambaMu ini!!!!!! yang terseot-seot menuju jalanMu, jalanMu yang berliku.
    Entahlah…..
    Sampai kapan kan berakhir. Bara panas semakin membakar tanganku ini.
    Aku melihat ke belakang, masa lalu yang kelam, seperti jutaan ton gombal, tanpa kenang. biarlah. sudahlah. pergi sana. aku tak butuh.

    Aku melihat ke samping kanan dan kiriku. Mereka sibuk menghitung uang jarahan si miskin dan si jahil.

    Aku melihat ke depan Wahai Tuhanku, Sesembahanku. JalanMu begitu silau, hingga aku tak sanggup menatap terlalu lama karena himpitan maksiat yang semakin mengumpul di kaca-kaca lampu kalbuku.

    Akhirnya seorang sahabat memberiku, sebuah buku, pembuka, awal perjalanan indah MenujuMu.

    Bidayatil Hidayal dari Al-Ghazali, semoga menjadi arti untukku.

Tinggalkan Balasan ke Wim Permana Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.